Golongan Manusia Yang Sia-Sia Shalatnya

Berikut ini adalah deretan manusia yang shalat mereka sia-sia alias tidak diterima oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sia-sianya shalat mereka bukanlah faktor intrinsik seperti salahnya atau mereka meninggalkan syarat dan rukun shalat. Tetapi faktor ekstrinsik yakni perbuatan mereka di luar shalat, yaitu perbuatan yang melanggar aturan Allah dan RasulNya.

Di sini kita tidak membicarakan amal seorang muslim yang menjadi kafir, murtad, dan musyrik, karena untuk mereka semua amalnya sia-sia, bukan hanya shalat. Begitu pula orang yang tidak ikhlas dalam beramal, tentu yang sia-sia adalah amal yang dia lakukan secara tidak ikhlas itu, tidak terbatas pada shalat. Ada pun di sini, kita hanya membatasi siapa saja dan sebab apa saja yang membuat shalat seorang muslim menjadi sia-sia. Tentunya dalam hal ini kita hanya menggunakan dasar dan rujukan yang bisa dipercaya.

1. Orang yang mendatangi dukun dan mempercayainya

Mereka adalah orang yang mendatangi peramal, paranormal, “orang pintar”, cenayang, atau apa pun istilahnya. Mereka mendatangi dalam berbagai kepentingan; seperti meramal nasib, meminta perlindungan, pengobatan, pesugihan, jodoh, supaya bisnis dan karir lancar, pelet (teluh), sihir, dan sebagainya. Di antara dukun-dukun ini ada yang mengelabui pasiennya dengan menambahkan dan membungkus amal sihir mereka dengan berbagai ayat dan dzikir agar terkesan apa yang dilakukannya adalah benar. Padahal itu hanya bagian dari jenis talbisul iblis (perangkap syetan) kepada manusia. Justru ini lebih bahaya dibanding dukun yang tidak memakai ayat-ayat dan dzikir, sebab dengannya banyak orang awam tertipu olehnya. Sayangnya mereka merasa berjalan di atas kebenaran!

Allah Ta’ala berfirman:

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi: 103-104)

Dari Shafiyah Radhiallahu ‘Anha, dari sebagian istri nabi, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barang siapa yang mendatangi peramal, lalu dia menanyainya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam. (HR. Muslim No. 2230, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 16287, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 12/182)

Menurut Imam An Nawawi maksud shalatnya tidak diterima adalah shalatnya tidak mengandung pahala. Begitulah yang dikatakan mayoritas Syafi’iyah. Para ulama sepakat bahwa orang tersebut tidak wajib mengulangi shalatnya yang empat puluh malam tersebut, tetapi wajib baginya taubat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/227)

2. Para peminum khamr

Golongan selanjutnya adalah para peminum khamr (minuman keras). Baik dia meminumnya hingga mabuk atau tidak, baik meminumnya sedikit atau banyak. Semua keadaan ini, baik yang mabuk atau tidak, diterangkan secara tegas bahwa keadaan mereka sama saja.

Ada beberapa riwayat yang menerangkan hal itu dari beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di antaranya sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda

Barang siapa yang meminum khamr maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia bertaubat maka Allah terima taubatnya, lalu jika dia kembali minum maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia taubat maka Allah terima taubatnya, lalu jika dia kembali minum maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia taubat maka Allah terima taubatnya, jika keempat kalinya dia minum lagi, maka tidak akan diterima shalatnya empat puluh malam, dan jika dia bertaubat tidak akan diterima taubatnya oleh Allah. Dan, Allah akan meminumkan dia dengan Thinatul Khabaal. Mereka bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman (Ibnu Umar), apakah Thinatul Khabaal?” Beliau menjawab: “Nanah yang bercampur darah dari penduduk neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 1785, katanya: hasan, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 11/357-358. Katanya: hasan)

Ada pun dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barang siapa yang meminum khamr dan dia mabuk, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, dia minum dan mabuk lagi, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, dia minum dan mabuk lagi, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, maka Allah akan menuanginya dengan Radaghatul Khabaal pada hari kiamat nanti. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah apa itu Radaghatul Khabaal? Beliau bersabda: air keringat penduduk neraka. (HR. Ibnu Majah No. 3377, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 13206, 13227. Al Bazzar No. 2429, dengan lafaz: “empat puluh malam,” dan ‘Ainul Khabaal atau Nahrul Khabaal. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya seperti Ash Shahihah No. 709, Ta’liq ‘Ala Ibni Khuzaimah No. 939, dll)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Semua khamr dan semua yang memabukkan adalah haram, dan barang siapa yang minum dan dia mabuk, maka shalatnya akan lepas selama empat puluh pagi, dan jika dia taubat maka Allah akan terima taubatnya, lalu jika dia mengulangi keempat kalinya maka Allah akan menuanginya dengan Thinatul Khabaal. Ada yang bertanya: “Apa itu Thinatul Khabaal? Beliau bersabda: “Nanah yang bercampur darah dari penduduk neraka.” Barang siapa yang meminumkannya kepada anak kecil, dan anak itu tidak tahu kehalalan dari yang haram itu, maka Allah akan menuanginya dengan Thinatul Khabaal. (HR. Abu Daud No. 3680, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah No. 2039)

3. Budak yang lari dari majikannya sampai dia kembali lagi

Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Tiga golongan manusia yang shalatnya tidak sampai telinga mereka, yakni: budak yang kabur sampai dia kembali …

Apa maksud “shalatnya tidak sampai telinga mereka” ? Berkata Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah

Itu adalah kiasan dari tidak diterimanya shalat. (Mir’ah Al Mafatih, 4/55)

4. Istri yang tidur sementara suami marah kepadanya

Lanjutan hadits di atas
Isteri yang tidur sementara suaminya marah kepadanya
Bahkan ini merupakan dosa besar. Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, mengutip dari Imam Asy Syaukani Rahimahullah, katanya:
Sesungguhnya wanita yang membuat marah suaminya sampai dia tertidur masih marah kepadanya, ini adalah termasuk dosa besar. Ini jika marahnya disebabkan alasan yang haq (benar). (Misykah Al Mashabih, 4/109)

Marah kenapa? Yaitu marah disebabkan alasan yang syar’i, marah karena buruknya perangai istri, tidak mentaati Allah, tidak mentaati suaminya dalam kebaikan, dan semisalnya. Sedangkan marahnya suami dengan sebab yang tidak benar, misalnya istri menolak ajakan keburukan suami lalu suami marah kepadanya, maka ini bukan termasuk yang dimaksud hadits di atas. Justru wajib menolak ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Allah Ta’ala.

Imam Ali Al Qari Rahimahullah mengatakan:

Marahnya ini jika disebabkan buruknya akhlak istri, atau jeleknya adab, atau sedikit ketaatannya. Ada pun jika kemarahan suaminya itu bukan karena kejelekan ini maka tidak ada dosa bagi si istri. (Misykah Al Mashabih, 4/109)

5. Pemimpin yang dibenci kaumnya

Lanjutan hadits di atas
dan pemimpin sebuah kaum yang kaum itu membencinya (HR. At Tirmidzi No. 360, dan At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Syaikh Al Albani menghasankan dalam beberapa kitabnya, Misykah Al Mashabih No. 1122. Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/117/487, Shahihul Jami’ No. 3057)

Yaitu kebencian yang disebabkan bukan urusan dunia antara pemimpin dengan kaumnya itu, tetapi urusan agama. Baik karena pemimpin itu fasik, suka bermaksiat, koruptor, ahli bid’ah, dan sebagainya.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:

Yaitu disebabkan urusan tercela dalam pandangan syariat. Jika kaumnya membencinya pada masalah yang diperselisihkan maka tidak dibenci (kepemimpinannya itu). Ibnu Al Malik berkata: mereka membencinya karena kebid’ahannya, atau kefasikannya, atau kebodohannya. Ada pun jika antara dirinya dan kaumnya ada kebencian yang disebabkan urusan duniawi, maka dia tidak terkena hukum ini. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/288)

Misal seseorang berkata: “Saya tidak menyukai dia menjadi imam bagi saya karena dia sudah dua bulan belum bayar kontrakan rumah kepada saya ..,” maka ini alasan kebencian yang tidak syar’i. Tetapi jika seseorang berkata: “Saya tidak menyukai dia menjadi imam bagi saya karena dia laki-laki pemabuk dan penjudi ..”, maka ini kebencian yang syar’i.

Hadits ini menunjukkan, menurut para ulama, dimakruhkannya seorang menjadi imam dalam keadaan dia dibenci oleh kaumnya. Tetapi jika pemimpin tersebut bukan orang zhalim, maka kaumnyalah yang berdosa. Sementara Ahmad dan Ishaq mengatakan seandainya yang membenci pemimpin tersebut hanya satu, dua, atau tiga orang maka tidak mengapa pemimpin tersebut shalat bersama mereka, kecuali jika yang membenci lebih banyak. (Sunan At Tirmidzi No. 360)

6. Orang yang memutuskan silaturrahim

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda

“Ada tiga manusia yang Shalat mereka tidaklah naik melebihi kepala mereka walau sejengkal: yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan silaturahim.” (HR. Ibnu Majah No. 971, Imam Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi mengatakan sanadnya shahih dan semua rijalnya tsiqat (kredibel). Lihat Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibni Majah, 2/338. Syaikh Al Albani mengatakan hasan. Lihat Misykah Al Mashabih, 1/249/1128. Imam Al ‘Iraqi juga mengatakan hasan. Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 2/289. Syaikh Ala’uddin bin Qalij bin Abdillah Al Hanafi mengatakan sanad hadits ini laa ba’sa bihi (tidak apa-apa). Abu Hatim berkata: Aku belum melihat ada orang yang mengingkarinya. Dalam sanadnya terdapat ‘Ubaidah, berkata Ibnu Namir: dia tidak apa-apa. Ad Daruquthni berkata: baik-baik saja mengambil ‘ibrah darinya. Abu Hatim mengatakan: menurutku haditsnya tidak apa-apa. Sanadnya juga terdapat Al Qasim. Menurut Al ‘Ijili dan lainnya dia tsiqah (kredibel), Lihat dalam Syarh Sunan Ibni Majah No. 172, karya Syaikh Ala’uddin Al Hanafi. Al Maktabah Al Misykat)

Imam Al Munawi Rahimahullah memberikan penjelasan:

(Akhwaani - dua orang bersaudara) baik dari saudara karena nasab atau agama (mutashaarimaani) yaitu saling memboikot (hajr) dan memutuskan hubungan bukan karena Allah Ta’ala. (At Taisir bisy Syarhil Jaami’ Ash Shaghiir, 1/969)

Hal ini adalah jika terjadi karena urusan dunia, seperti merebutkan warisan, persaingan bisnis, dan semisalnya, yang membuat mereka memutuskan silaturrahim.

Namun, jika memutuskan hubungan karena faktor kepentingan agama, seperti memutuskan hubungan terhadap ahli bid’ah dan ahli maksiat, dalam rangka memberikan pelajaran kepada mereka, maka ini tidak apa-apa. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat pernah memboikot tiga sahabat nabi yang tidak ikut perang tabuk, yaitu Ka‘ab bin Malik, Murarah bin Ar Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah. Para sahabat mendiamkannya, tidak menegurnya, tidak mengajaknya bercakap-cakap, bahkan tidak menjawab salamnya. Ini berlangsung sampai lima puluh hari lamanya. Hingga akhirnya mereka bertaubat dan Allah Ta’ala menerima taubat mereka dengan turunnya ayat:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka nyaris berpaling (tergelincir), namun kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya Penyayang terhadap mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya) sehingga bumi yang luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa mereka pun dirasa sempit oleh mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada temapt lari dari (siksaan) Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hari orang-orang yang beriman, tetapi bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang selalu benar“.(QS At-Taubah(9):117-119).

Comments

Popular Posts